Mengapa Bullying Masih Terjadi? Analisis Sosial dan Budaya

Di tengah gempuran kampanye anti-bullying yang masif, mulai dari sekolah, media sosial, hingga iklan layanan masyarakat, fenomena perundungan atau bullying nyatanya masih menjadi momok yang menghantui berbagai lapisan masyarakat. Mengapa demikian? Mengapa kesadaran yang konon meningkat tidak serta-merta mengikis praktik intimidasi dan kekerasan non-fisik ini? Artikel ini akan menyelami akar permasalahan bullying dari perspektif sosial dan budaya, mengungkap faktor-faktor kompleks yang membuatnya tetap eksis di masyarakat modern.

Memahami Bullying: Lebih dari Sekadar Kenakalan

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami bahwa bullying bukanlah sekadar "kenakalan biasa" atau "bercandaan" seperti yang seringkali diremehkan. Bullying adalah tindakan agresif yang disengaja, dilakukan berulang kali, dan ditandai oleh adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. Bentuknya beragam, mulai dari kekerasan fisik (memukul, menendang), verbal (menghina, mengejek), psikologis (mengucilkan, menyebarkan rumor), hingga yang paling modern: cyberbullying melalui media digital.

Baca Juga : Awas Hati-hati Generasi Muda Juga Bisa Membalas

Akar Masalah: Faktor Sosial dan Psikologis Pelaku

Tidak ada satu pun alasan tunggal mengapa seseorang menjadi pelaku bullying. Umumnya, ada kombinasi faktor sosial dan psikologis yang melatarbelakangi tindakan tersebut:

Kebutuhan untuk Mengontrol dan Kekuasaan: Banyak pelaku bullying mencari cara untuk merasa kuat dan dominan. Merendahkan orang lain memberi mereka ilusi kekuasaan, terutama jika mereka sendiri merasa tidak berdaya atau tidak dihargai dalam aspek lain kehidupan mereka.
Insecurity dan Proyeksi Diri: Ironisnya, pelaku bullying seringkali memiliki masalah kepercayaan diri atau rasa tidak aman yang mendalam. Mereka memproyeksikan kelemahan atau ketakutan mereka sendiri kepada orang lain, menjadikannya target agar merasa lebih baik tentang diri mereka.
Kurangnya Empati: Salah satu ciri utama pelaku bullying adalah kurangnya kemampuan untuk memahami atau merasakan penderitaan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh pola asuh yang kurang mengajarkan empati, paparan terhadap kekerasan, atau desensitisasi dari media.
Lingkaran Kekerasan: Banyak pelaku bullying adalah korban bullying itu sendiri di masa lalu, atau mereka tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekerasan dan agresi (baik fisik maupun verbal). Mereka belajar bahwa kekerasan adalah cara untuk menyelesaikan masalah atau mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Tekanan Kelompok Sebaya: Keinginan untuk diterima dalam kelompok atau mempertahankan status sosial seringkali mendorong individu untuk ikut serta dalam bullying, atau setidaknya tidak melakukan intervensi.

Peran Lingkungan dalam Mempertahankan Budaya Bullying

Lingkungan di sekitar individu memainkan peran krusial dalam membentuk dan melanggengkan perilaku bullying:

Baca Juga : Sadarlah! Kita Tidak Bisa Menyenangi Semua Orang

1. Keluarga sebagai Pondasi

Pola Asuh: Orang tua yang terlalu permisif, otoriter (dengan kekerasan verbal/fisik), atau tidak memberikan perhatian yang cukup, dapat berkontribusi pada perkembangan perilaku bullying pada anak. Anak-anak mungkin meniru agresivitas yang mereka lihat di rumah atau mencari perhatian melalui cara yang negatif.
Kurangnya Komunikasi: Keluarga yang tidak membiasakan komunikasi terbuka tentang emosi dan masalah dapat membuat anak kesulitan mengekspresikan diri secara sehat, yang kadang berujung pada agresi.

2. Lingkungan Sekolah dan Komunitas

Budaya Sekolah yang Permisif: Sekolah atau institusi yang gagal menanggapi insiden bullying secara serius, atau bahkan menutup mata, secara tidak langsung memberikan validasi pada perilaku tersebut. Kurangnya kebijakan yang jelas dan penegakan yang konsisten mengirimkan pesan bahwa bullying bisa ditoleransi.
Standar Sosial yang Keliru: Di beberapa komunitas, tindakan agresi atau dominasi masih dianggap sebagai "bukti kekuatan" atau "tanda maskulinitas". Frasa seperti "jangan cengeng" atau "laki-laki harus kuat" bisa menormalisasi kekerasan dan menghambat korban untuk bersuara.
Kurangnya Intervensi Bystander: Seringkali, ada banyak saksi mata saat bullying terjadi. Namun, rasa takut menjadi target selanjutnya, ketidakpastian harus berbuat apa, atau bahkan anggapan bahwa itu "bukan urusan mereka", membuat para saksi mata memilih diam. Diamnya para saksi ini justru menguatkan pelaku dan mengisolasi korban.

Dampak Era Digital: Media Sosial dan Cyberbullying

Kedatangan era digital dan media sosial telah mengubah lanskap bullying secara drastis, memperkenalkan tantangan baru yang kompleks:

1. Anonimitas dan Jarak

Platform online seringkali memungkinkan pelaku untuk bertindak di balik layar anonimitas atau dengan jarak fisik. Ini mengurangi rasa tanggung jawab dan konsekuensi langsung yang mungkin mereka rasakan di dunia nyata, membuat mereka lebih berani melontarkan ujaran kebencian, ancaman, atau menyebarkan rumor.

2. Penyebaran Cepat dan Jangkauan Luas

Sebuah postingan atau komentar yang merendahkan dapat menyebar dalam hitungan detik dan dilihat oleh ratusan, bahkan ribuan orang. Hal ini memperparah dampak psikologis pada korban, karena rasa malu dan isolasi bisa terasa jauh lebih besar.

3. Kurangnya Pengawasan dan Regulasi

Meskipun ada upaya, pengawasan terhadap konten negatif di media sosial masih menjadi tantangan besar. Regulasi yang belum kuat dan literasi digital yang masih rendah di kalangan orang tua dan pendidik membuat cyberbullying lebih sulit dideteksi dan dihentikan.

4. Budaya Cancel dan "Doxing"

Di media sosial, kita juga melihat fenomena "budaya cancel" dan "doxing" (membongkar informasi pribadi seseorang secara publik). Meskipun terkadang bertujuan baik untuk menuntut keadilan, praktik ini seringkali disalahgunakan menjadi bentuk bullying massal yang bisa merusak reputasi dan kehidupan seseorang secara permanen, bahkan tanpa proses hukum yang jelas.

Mengapa Kampanye Anti-Bullying Belum Cukup Efektif?

Meskipun gencar, banyak kampanye anti-bullying belum mampu memberantas masalah ini hingga ke akarnya. Beberapa alasannya meliputi:

Fokus pada Korban, Kurang pada Pelaku dan Lingkungan: Banyak kampanye berfokus pada bagaimana korban harus bereaksi atau mencari bantuan. Meskipun penting, ini seringkali kurang menyentuh akar masalah pada diri pelaku dan budaya permisif di lingkungan sekitar yang membiarkan bullying terjadi. Kita perlu lebih banyak program intervensi untuk pelaku dan perubahan budaya untuk para saksi mata.
Implementasi yang Tidak Konsisten: Kampanye seringkali bersifat insidental, seperti seminar satu hari atau poster yang ditempel. Perubahan perilaku dan budaya membutuhkan program berkelanjutan, terintegrasi, dan evaluasi yang konstan.
Kurangnya Keterlibatan Semua Pihak: Penanganan bullying tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah atau orang tua. Dibutuhkan sinergi dari seluruh elemen masyarakat: keluarga, sekolah, komunitas, pemerintah, dan bahkan penyedia platform media sosial.
Pendidikan Karakter vs. Pengetahuan: Kampanye seringkali hanya memberikan informasi. Namun, mengubah perilaku membutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan; dibutuhkan pendidikan karakter yang kuat, termasuk pengembangan empati, kemampuan memecahkan masalah secara non-agresif, dan keterampilan sosial.

Baca Juga : Sejarah Perbudakan dan Dampaknya terhadap Masyarakat Modern

Menuju Masyarakat Bebas Bullying: Sebuah Ajakan Bertindak

Memahami mengapa bullying masih terjadi adalah langkah pertama untuk memberantasnya. Ini bukan masalah sederhana yang bisa diselesaikan dengan satu solusi kilat. Dibutuhkan pendekatan holistik dan berkelanjutan yang melibatkan semua pihak:

Membangun Empati dari Rumah: Orang tua harus secara aktif mengajarkan empati dan kasih sayang kepada anak-anak sejak dini, serta menjadi teladan dalam komunikasi yang sehat.
Kebijakan Sekolah yang Tegas dan Konsisten: Sekolah harus memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas, transparan, dan diterapkan secara konsisten tanpa pandang bulu, diikuti dengan program pendidikan empati dan keterampilan sosial.
Mendorong Intervensi Bystander: Mengedukasi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, tentang pentingnya tidak menjadi penonton pasif dan bagaimana cara mengintervensi atau melaporkan bullying dengan aman.
Literasi Digital yang Kuat: Meningkatkan literasi digital bagi semua usia, agar lebih bijak dalam bermedia sosial dan mampu mengidentifikasi serta melaporkan cyberbullying.
Membongkar Standar Sosial yang Keliru: Secara kolektif menantang norma-norma sosial yang menormalisasi agresi atau menekan ekspresi emosi yang sehat.

Perjuangan melawan bullying adalah perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, penuh hormat, dan aman bagi setiap individu. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk tidak hanya menentang bullying, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana bullying tidak lagi menemukan tempat untuk tumbuh.